Minggu, 18 November 2012

Kronologis Sejarah Di awal Kelahiran Republik Indonesia 1945 - 1949

Republik Indonesia tidak lahir atas hadiah dengan karpet merah oleh Pemerintah Kerajaan Belanda ataupun Sekutu. Tetapi berkat perjuangan rakyat Indonesia yang disertai dengan pengorbanan jiwa, harta dan air mata. Betapa hinanya mereka yang menodai cita2 kemerdekaan bangsa Indonesia dengan korupsi, tindakan2 kekerasan dan perp
ecahan yang bertentengan dengan UUD 45 dan Panca Sila.

Dibawah ini catatan sejarah selagi RI masih balita yang terus dilanda teror dan serangan militer baik oleh Sekutu maupun Belanda yang tidak rela Indonesia lepas dari genggamannya.

Kronologis Sejarah Republik Indonesia 1945 - 1949
Dicatat oleh Syahrir Imaluddin

17 Agustus 1945 jam 10:00. Pembacaan Proklamasi oleh Bung Karno dijalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
18 Agustus 1945. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk pada 7 Agustus 1945, menetapkan bahwa:1. Mengesahkan UUD 45 sebagai UUD RI.. 2. Memilih Ir Soekarno dan Drs Mohd. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. 3. Sebelum MPR terbentuk, presiden sementara dibantu oleh Komite Nasional.
22 Agustus 1945, PPKI membentuk: 1. Komite Nasional 2. Partai Nasional Indonesia. 3. Badan Keamanan Rakyat.
29 Agustus 1945, Pelantikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan ketua Mr Kasman Singodimejo.
31 Agustus 1945, Pemerintah menetapkan pekik perjuangan yang mulai berlaku 1 Sepetember 1945 yaitu pekik: “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”.
2 Sepetember 1945, Pelantikan Kabinet Pertama Republik Indonesia dan 8 orang Gubernur, di jalan Peganggsaan Timur 56, Jakarta.
5 Sepetember 1945, Sultan Hamengkubuwono IX, menyatakan bahwa “Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat” yang bersifat kerajaan sebagai Daerah Istimewa dalam Negara Republik Indonesia.
8 September 1945, Misi Sekutu yang pertama diterjunkan di lapangan terbang Kemayoran.
16 September 1945, Laksamana Muda WR Patterson, Wakil Panglima SEAC, mendarat di Tanjung Priok.
10 September 1945, Pengumuman Panglima Bala Tentara Kerajaan Jepang di Djawa menyatakan Pemerintahan akan diserahkan kepada Sekutu dan tidak kepada pihak Indonesia.
19 September 1945, Di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya terjadi insiden bendera, Karena beberapa orang Belanda menaikkan bendera merah putih biru di hotel tersebut yang menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya. Rakyat merebut dan merobek bagian birunya menjadi hanya bendera Sang Saka Merah Putih tercinta.
19 September 1945, Rapat Raksasa di-Lapangan Ikada, Jakarta untuk menyambut Proklamasi Kemerdekaan.
29 September 1945. Pendaratan Tentara Sekutu (AFNEI- Allied Forces Netherlands East Indies) yang terdiri dari 3 divisi di Jakarta.
2 Oktober 1945, Markas Besar Tentara Jepang di Surabaya menyerah kepada rakyat.
5 Oktober 1945, Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
7 Oktober 1945, Tentara Jepang di Yogyakarta menyerah.
15 Oktober 1945. Sekitar 30 km dari Semarang, 400 orang veteran AL Jepang dan 2000 orang dari batalion Jepang Kidobutai bersenjata lengkap memberontak dan bertempuir dengan rakyat dan TKR selama 5 hari. Sekitar 2000 rakyat Indonesia dan 100 orang Jepang tewas dalam pertempuran ini.
25 Oktober 1945. Pertemuan pertama Presiden Soekarno dengan pimpinan tentara Sekutu yaitu Panglima AFNEI, Letnan Jenderal Sir Philip Christison .
28 Oktober 1945. Pos-pos tentara Sekutu di seluruh kota Surabaya, diserang oleh rakyat Indonesia.
10 November 1945. Pertempuran Surabaya pecah. Gugur beribu-ribu pejuang Indonesia.
14 November 1945. Pembentukan Kabinet Kedua RI (Kabinet Syahrir).
17 November 1945. Pertemuan pertama antara RI, Belanda dan Sekutu.
21 November 1945. Pertempuran Ambarawa. TKR melawan Sekutu. Bantuan rakyat mengalir dari Yogyakarta, Surakarta, Salatiga, Purwekerto, Magelang, Semarang dan lain lain.
12 Desember 1945. Pasukan Indonesia berhasil menghalau tentara Inggeris dari Ambarawa dan mereka mundur ke Semarang.

18 Desember 1945. Pengangkatan Kolonel Soedirman menjadi Jenderal Panglima Besar TKR.
19 Desember 1945. Daerah Karawang Bekasi digempur dari darat dan udara oleh tentara Sekutu.
4 Januari 1946. Presiden dan Wakil Presiden Pindah Ke Yogya. Di akhir 1945 keamanan kota Jakarta semakin memburuk. Tentara Belanda kian meraja lela. Pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priok pada 30 Desmber 1945 menambah gentingnya keadaan. Karena situasi yang terus memburuk di Jakarta, presiden dan wapres pindah ke Yogyakarta dan ibukota pindah ke Yogya. PM Syahrir sementara tetap di Jakarta.
10 Februari 1946. Permulaan Perundingan- perundingan Indonesia – Belanda atas desakan pihak Inggeris (Lord Killearn) pada Belanda.
23 Maret 1946. Bandung Lautan Api. Kota Bandung Selatan dibakar oleh TRI setelah dengan berat hati mematuhi perintah Pemerintah RI untuk mengosongkan kota ini karena diultimatum oleh tentara Sekutu. Selain kota Bandung, di Jawa Barat terjadi pertempuran-pertempuran antara TRI melawan Sekutu dan NICA (Netherland Indies Civil Administration)
28 April 1946 Penyerahan Tawanan Jepang kepada Sekutu.
15 Juli 1946. Konferensi Malino. Disebuah kota kecil di Sulawesi Selatan atas prakarsa Dr van Mook, wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
20 September 1946. Perundingan Gencatan Senjata antara RI, Sekutu dan Belanda. Indonesia Maj Jen Soedibyo, Kolonel Simbolon, Letkol Abdullah Kartawirana; Sekutu May Jen JFR Forman dan Brig Jen Lauder; Belanda, May Jen DH Buurman van Vreeden. Perundingan di Jakarta selama 10 hari hingga 30 September 1946, tetapi tidak membawa hasil
7 Oktober 1946. Perundingan Indonesia – Belanda. Perundingan antara delegasi Indonesia dipimpin oleh PM Sutan Syahrir dan Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn di kediaman Konsul Jenderal Inggeris di Jakarta.
10 November 1946. Perundingan Linggajati. Dekat Cirebon. Antara Pemerintah RI dengan Komisi Umum Belanda dipimpin oleh Lord Killearn
29 November 1946. Pertempuran Margarana , sebelah Utara Tabanan Bali. Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai gugur bersama anak buahnya.
18 Desember 1946. Konferensi Denpasar. Berdirinya Negara Indonesia Timur bentukan Dr. Van Mook.
1 Januari 1947. Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang.
5 Januari 1947. Pertempuran Laut di Teluk Cirebon. Tenggelamnya KRI Gajah Mada.
25 Maret 1947. Penandatanganan Persetujuan Linggajati di Istana Rijswijk, sekarang Istana Negara.
4 Mei 1947. Proklamasi “Negara Pasundan” oleh Soeria Kartalegawa. Praktek politik memecah belah oleh Belanda.
9 Mei 1947. Pembentukan Dewan Federal Borneo Tenggara dan Daerah Istimewa Borneo Barat.
3 Juni 1947. Penetapan Presiden berdirinya Tentara Nasional Indonesia.
21 Juli 1947. Agresi Militer Belanda Pertama. (Dulu di Sekolah Rakyat tahun 50an diajarkan bahwa ini adalah Aksi Polisionil Belanda, seolah-olah penertiban oleh pemerintah Kerajaan Belanda pada pihak Indonesia yang mestinya sudah berdaulat dan merdeka).
27 Oktober 1947. Komisi Tiga Negara (KTN). Australia, Belgia dan Amerika Serikat untuk menengahi sengketa RI dan Belanda. Australia dipilih oleh Indonesia; Belgia oleh Belanda; Belgia dan Australia memilih Amerika Serikat.
8 Desember 1947. Perundingan Renville. RI dan Belanda diatas kapal perang USS Renville yang berlabuh diteluk Jakarta.
13 Januari 1948. Perundingan Kaliurang. Selama perundingan Renville, delegasi Indonesia selalu berkonsultasi dengan pemerintah pusat di Yogyakarta. Untuk membicarakan daerah kekuasaan RI, bertempat di Kaliurang diadakan perundingan antara KTN dan Republik Indonesia.

17 Januari 1948. Penanda Tanganan Perjanjian Renville dan perintah penghentian tembak menembak pada 19 Januari 1948.
23 Januari 1948. Pembentukan Negara Madura. Hasil politik memecah belah oleh Belanda.
16 Februari 1948. Konferensi pembentukan “Negara Jawa Barat” (Pasundan).
24 Maret 1948. Pembentukan “Negara Sumatera Timur”.
29 Mei 1948. Konferensi Federal Bandung.
18 September 1948. Pemberontakan PKI di Madiun.
16 November 1948. Pembentukan “Negara Jawa Timur”.
19 Desember 1948. Agresi Militer Belanda Kedua. Pukul 06:00 pagi, agresi militer kedua dilancarkan Belanda. Dengan pasukan lintas udara, serangan langsung ditujukan ke ibu kota RI, Yogyakarta. Lapangan terbang Maguwo dikuasai Belanda dan selanjutnya seluruh kota Yogyakarta.

Presiden, Wapres, dan beberapa pejabat tinggi lainnya ditawan Belanda. Presiden Soekarno diterbangkan ke Prapat dan Wapres Hatta ke Bangka. Presiden Soekarno kemudian dipindahkan ke Bangka.

Mr Syafruddin Prawiranegara diserahi tugas membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera.

19 Desember 1948. Long March Divisi Siliwangi yang berada di Jawa Tengah, kembali ke Jawa Barat.
24 Desember 1948. Long March Siliwangi diserang oleh tentara Belanda di Kebumen.
1 Maret 1949. Serangan Umum terhadap kota Yogya yang dikuasai Belanda.
7 Mei 1949. Persetujuan Roem Royen. Antara RI dipimpin oleh Mr Mohd Roem dan Belanda dketuai oleh Dr. van Royen.
29 Juni 1949. TNI masuk kota Yogya.
6 Juli 1949. Presiden dan Wapres kembali ke Yogyakarta. Setelah Yogyakarta dikosongkan dari tentara Belanda dan TNI sepenuhnya menguasai kota ini, maka Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka.
10 Juli 1949. Panglima Besar Soedirman kembali ke Yogyakarta.
13 Juli 1949. Pemerintahan Darurat RI di Sumatera Mengembalikan Mandat kepada Pemerintah Pusat di Yogyakarta.
19- 22 Juli 1949. Konferensi Inter – Indonesia di Yogyakarta.
23 Agustus 1949. Konferensi Meja Bundar di Den Hag, Belanda..
14 November 1949. di Solo diadakan serah terima kekuasan militer Belanda kepada Letkol Slamet Rijadi selaku wakil TNI.
14 Desember 1949. Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).
15 Desember 1949. Pemilihan Presiden RIS.
17 Desember 1949. Pelantikan Ir Soekarno sebagai Presiden RIS.
27 Desember 1949. Mr Asaat sebagai Ketua KNIP diangkat oleh Presiden RIS Ir Soekarno sebagai Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia.
27 Desember 1949. Upacara Penandatangan Naskah Pengakuan Kedaulatan dilakukan serentak pada waktu yang bersamaan yaitu di Yogyakarta, Indonesia oleh Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Pemerintah Kerajaan Belanda. Di Belanda, di ruang takhta Kerajaan Belanda, Ratu Juliana, PM Dr Willem Drees, dan Ketua Delegasi Indonesia Drs Mohd. Hatta.
28 Desember 1949. Presiden Soekarno kembali ke Jakarta.

Aku Masih Cinta INDONESIA

Kriiing … kriiiing …kriiiing …
Waktu istirahat telah habis. Puluhan murid berhamburan dari kantin untuk kembali ke kelas mereka, ada juga yang dari masjid setelah melaksanakan ibadah sunnah sholat dhuha. Empat sekawan; WIWIK,AYU,ANDI, dan REVAN keluar dari masjid dengan lesu.WIWIK dan AYU pergi menuju loker untuk menyimpan mukena mereka, diikuti ANDI dan REVAN.
“Setelah ini PKn, membosankan!” geru

tu WIWIK sambil mengeluarkan kunci loker dari sakunya lalu membuka loker.
“Pelajarannya sudah membosankan, tambah lagi gurunya gak pernah senyum. Dari dulu cuma bahas buku paket lalu kerjain lima puluh soal, gak pernah berubah!” tambah AYU sambil melemparkan mukena ke dalam loker dengan malas.
“Tapi dia baik, lho! Nilai ulanganku cuma 86 tapi di raportku bisa jadi 92,” kekeh ANDI.
“paling nasib mu,” jawab WIWIK dengan sinis, ia mengunci loker sambil memutar bola matanya.
“Bukan urusanku! Yang penting nilai raportku bagus, itu saja,” ANDI membuang muka.REVAN hanya diam, tapi dari ekspresinya tentu saja dia setuju dengan ketiga sohibnya.
“Aku mau jajan dulu aja!” AYU berjalan menuju kantin, ketiga sobatnya mengikuti.
Selesai jajan, mereka bertiga menuju ke kelas. Bu Guru belum datang, teman-teman mereka asyik bermain kartu UNO.
“Assalamu’alaikum …,” sapa seorang laki-laki muda yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu. Semua anak berhambur menuju meja masing-masing. NOVRIDA segera membersihkan kartu UNO-nya dan menyembunyikannya di laci. REVAN dan ANDI sibuk membenahi tali sepatu mereka yang diikatkan oleh WIWIK dan AYU sebagai pembalasan keusilan mereka selama ini.
“Wa’alaikumussalam …,” jawab anak-anak sama sekali tak serentak.
“Perkenalkan, nama saya Fauzi Abu Bakar, kalian bisa panggil saya Pak Fauzi. Saya akan menjadi guru PKn kalian mulai dari sekarang. Sebelum kita memulai pelajaran, coba kalian perkenalkan diri kalian satu persatu,” kata Pak Fauzi. Murid-murid saling berpandangan, tidak ada satupun yang mau pertama memperkenalkan diri.
“Mulai dari yang paling depan saja,” sambung Pak Fauzi sambil tersenyum dan menunjuk meja AGUNG. AGUNG menggaruk-garuk kepalanya dan berdiri dengan sangat lambat.
“Nama saya AGUNG GUSTI MAULANA, biasa dipanggil AGUNG,” kata AGUNG. Semua anak-anak bergiliran memperkenalkan diri satu-persatu.
“Baiklah, karena sudah perkenalan, mari kita mulai pelajaran. Hmm, sampai bab berapa pelajarannya, mbak mas?” tanya Pak Fauzi. Semua murid berpandangan.
“Enggak tahu, Pak. Gurunya aja ngajar gak jelas,” celetuk ANDI sambil menguap lebar. “Loncat sana loncat sini, sama sekali nggak kayak katak.”
“Baiklah, karena kalian tampaknya tidak semangat, saya akan cerita,” Pak Fauzi memutuskan sambil tersenyum. Semua anak meletakkan wajah mereka di meja. Bu Guru PKn yang dulu bila sudah memutuskan untuk ‘bercerita’, maka itu adalah bencana bagi anak-anak karena anak-anak yang ngantuk disuruh menebak kelanjutan ceritanya yang sama sekali unpredictable dan gak seru.Kan kita kemaren habis memperingati hari PAHLAWAN,saya cerita kan sedikit tentang perjuangan arek-arek suroboyo dulu.Kalau boleh tau siapa saja kemaren yang ikut lomba di Sejahtera ?
“saya pak .. ..” jawab serentak ANDI dan WIWIK.
“Ya uda saya ceritakan Begini ceritanya,Berita akan mendaratnya Tentara Sekutu tanggal 25 Oktober 1945 di Surabaya dikawatkan pertama oleh Menteri Penerangan Amir Syarifuddin dari Jakarta. Dalam berita tersebut menteri menjelaskan tugas Tentara Sekutu di Indonesia, yaitu mengangkut orang Jepang yang sudah kalah perang, dan para orang asing yang ditawan pada zaman Jepang. Menteri berpesan agar pemerintah daerah di Surabaya menerima baik dan membantu tugas Tentara Sekutu tersebut.
Sikap politik pemerintah pusat tersebut sulit diterima rakyat Surabaya pada umumnya. Rakyat Surabaya mencurigai kedatangan Inggris sebagai usaha membantu mengembalikan kolonialisme Belanda di Indonesia. Kasus Kolonel P.J.G. Huijer, perwira Tentara Sekutu berkebangsaan Belanda, menjadi salah satu alasannya kecurigaan itu. Kolonel P.J.G. Huijer yang datang di Surabaya pertama kali pada tanggal 23 September sebagai utusan Laksamana Pertama Patterson, Pimpinan Angkatan Laut Sekutu di Asia Tenggara, ternyata membawa misi rahasia pula dari pimpinan Tertinggi Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Huijer yang bersikap dan bertindak terang-terangan menentang revolusi Indonesia akhirnya ditangkap dan ditawan di Kalisosok oleh aparat keamanan Indonesia.
Hari menjelang datangnya tentara Inggris di Surabaya, Drg. Moesopo yang sementara itu telah mengangkat diri menjadi Menteri Pertahanan RI, berseru pada rakyat Surabaya, agar bersiap siaga menghadapi kedatangan pasukan Inggris. Dengan mengendarai mobil terbuka dan pedang terhunus di tangan, ia berteriak-teriak di sepanjang jalan, menyadarkan rakyat atas bahaya yang sedang mengancam. Dalam pidato radionya pada malam harinya, secara khusus Moestopo memperingatkan secara keras pada tentara Inggris dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration, Pemerintah Penjajahan Belanda atas Indonesia di pengungsian ketika Jepang menduduki Indonesia, dan merencanakan kembali menjajah Indonesia lagi setelah bubar perang) ~ diucapkan “Nika” ~ agar mereka jangan mendarat di Surabaya. “Inggris! Nika! Jangan mendarat! Kalian orang terpelajar! Tahu aturan! Jangan mendarat! Jangan mendarat!” pidatonya di radio begitu terus.
Beberapa jam setelah kapal Inggris merapat di Tanjung Perak, dua orang perwira staf Mallaby (komandan pasukan Inggris) menemui Gubernur Soerjo. Utusan Mallaby itu mengundang Gubernur Soerjo dan seorang wakil BKR agar bertemu dengan Mallaby di kapal untuk berunding. Undangan itu ditolak karena sebagai pejabat baru Gubernur Soerjo sedang memimpin rapat kerja pertama. Dalam rapat kilat yang diadakan kemudian, diputuskan untuk memberi mandat kepada Drg. Moestopo pimpinan BKR untuk berunding dengan pihak Inggris dan bertindak atas nama Pemerintah Jawa Timur.
Pertemuan Mallaby dengan Moestopo yang didampingi dr. Soegiri, pejuang Surabaya yang sangat aktif, Moh. Jasin, pimpinan Polisi Istimewa serta Bung Tomo, belum menghasilkan kesepakatan. Perundingan dilanjutkan 26 Oktober esoknya di gedung Kayoon ex gedung Konsulat Inggris. Pertemuan tersebut dihadiri Residen Soedirman, Ketua KNI Doel Arnowo, Walikota Radjamin Nasution dan HR Mohammad Mangundiprojo dari TKR (TKR = Tentara Keamanan Rakyat, resmi dibentuk tanggal 5 Oktober 1945, sebelumnya bernama BKR, Badan Keamanan Rakyat). Menghasilkan perjanjian, dalam pasukan Inggris yang mendarat tidak disusupi pasukan Belanda, tercapai bekerjasama Indonesia-Tentara Sekutu dengan membentuk Kontact Bureau, yang akan dilucuti senjatanya hanyalah Jepang saja, sedang pengawasan dipegang oleh tentara Sekutu, dan selanjutnya tentara Jepang itu akan dipindahkan ke luar Jawa.
Sesuai dengan kesepakatan tersebut, pasukan Inggris diperkenankan menggunakan beberapa gedung penting di kota, seperti gedung Kayoon digunakan sebagai Markas Brigade 49 (Inggris), gedung HBS (sekolah kompleks Jl. Wijaya Kusuma), gedung Internatio, Rumah Sakit Darmo tempat para tawanan perang dan interniran dirawat, masing-masing ditempatkan satu batalyon pasukan Inggris. Dalam gerakan menduduki tempat yang disetujui itu Inggris selanjutnya juga menduduki sejumlah tempat strategis di luar perjanjian, seperti lapangan terbang Tanjung Perak, perusahaan listrik Gemblongan, Stasiun KA, Kantor Pos Besar, Gedung Studio Radio di Simpang. Lebih kurangajar lagi, malam itu Moestopo disergap, dipaksa menunjukkan di mana Kolonel PG Huijer ditawan, yang berakhir dengan penyerbuan pasukan Inggris ke penjara Kalisosok dan membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan pemuda. Inggris juga melucuti kesatuan Polisi RI Seksi Bubutan dan Nyamplungan.
Esok harinya, 27 Oktober, pesawat Inggris menyebarkan pamflet, isinya menuntut dan mengancam, agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali kepada Inggris senjata dan peralatan perang mereka yang direbut dari tentara Jepang. Residen Soedirman dan drg. Moestopo segera memperingatkan Brigjen Mallaby, bahwa isi pamflet itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang telah disetujui bersama. Rupanya Brigjen Mallaby sendiri juga tak tahu-menahu dengan pamflet yang berasal dari Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta itu. Tetapi sebagai tentara harus tunduk pada putusan atasan.
Suasana panas Surabaya mencapai klimaksnya pada tanggal 28 Oktober 1945. Pada hari itu sekitar jam 17.00, di Markas Pertahanan Jl. Mawar 10, markas dan sekaligus tempat Studio Radio Pemberontakan pimpinan Bung Tomo, diselenggarakan pertemuan antara sejumlah pimpinan pasukan BKR dan pemimpin Badan Perjuangan Bersenjata. Dari pihak BKR yang hadir HR Mohammad Mangundiprojo, Sutopo dan Katamhadi, ketiganya ex Daidancho Peta. Dari Badan Perjuangan Bersenjata yang hadir antara lain Soemarsono dari PRI (markas besarnya di Balai Pemuda), Bung Tomo dari BPRI. Putusan rapat mereka tidak mentolerir tindakan provokatif tentara Inggris. Mereka sepakat untuk segera melancarkan serangan terhadap kedudukan Inggris dengan perhitungan mumpung pasukan Inggris saat itu masih lemah, menduduki tempat yang terpencar-pencar.
“Om 5 uur begint de Indonesische opstand!” (Pada jam 05.00 mulailah perlawanan bangsa Indonesia), demikian bunyi kebulatan tekad mereka.
Sore itu juga, Soemarsono melalui radio pemberontakan di Jl. Mawar 10 mengumumkan kebulatan tekad tersebut. Dalam pidato radionya ia antara lain menyatakan bahwa, “Tentara Inggris yang berkedok sebagai Tentara Sekutu itu sebenarnya adalah tentara penjajah yang membantu NICA untuk menghancurkan kemerdekaan bangsa Indonesia, karenanya harus dilawan!” Pidato Soemarsono segera disusul oleh pidato Bung Tomo yang sebagai orator ulung ia berhasil membakar semangat rakyat Surabaya khususnya dan rakyat Indonesia umumnya, untuk melawan tentara Inggris dan Belanda.
Sore hari itu Surabaya seperti kota mati. Jalan-jalan sunyi mencekam, menantikan datangnya badai pertempuran. Kesatuan TKR, atas perintah Moestopo dan Jososewojo, sejak tengah hari telah ditarik keluar kota, mempersiapkan lini kedua di Sepanjang mereka akan melaksanakan perang rahasia dan perang gerilya seperti yang diinstruksikan oleh Moestopo. Tetapi ketika pada malam harinya pertempuran pecah, mereka bergerak kembali ke kota.
Malam hari itu, tempat atau gedung yang diduduki oleh tentara Inggris, dikepung oleh rakyat Surabaya, seperti ceceran gula pasir dikerubungi semut. Pengepungan berlanjut sampai tiga hari. Pasukan Inggris yang terkepung, tidak bisa bergerak dari tempatnya, tidak bisa minta bantuan dari tempat lain, kehabisan peluru, air dan makanan. Bertahan pasti hancur, keluar tidak mungkin, pasti dihadang oleh rakyat Surabaya bersenjata sepanjang jalan. Rakyat Surabaya saat itu semangatnya bertempur berkobar-kobar, tidak perduli senjata apa saja yang bisa digunakan untuk melawan pasukan Inggris, senpi atau senjam. Bandha nekad! (bonek). Ada yang baru hari itu memiliki senapan, baru jam itu belajar menembak. Lalu kemaruk menembakkan senjata apinya. Sampai ada tentara Inggris yang jelas mati terapung di sungai, tetap saja diberondong peluru untuk latihan menembak tepat sasaran.
Melihat pasukannya tak berkutik akan hancur, Brigjen Mallaby panik. Dia harus bisa mencegah kehancuran semesta itu. Harus dicarikan pemimpin Indonesia yang masih dipatuhi oleh rakyat Surabaya. Siapa? Presiden RI, Bung Karno. Mallaby minta agar Presiden RI didatangkan di Surabaya. Dengan permintaan itu, tentara Inggris yang semula tidak mengakui adanya negara Republik Indonesia, jadi mengakui kedaulatan RI. Presiden Soekarno bersama Wakil Presiden Mohamad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin terbang ke Surabaya 29 Oktober 1945 dengan pesawat RAF. Lapangan terbang Morokrembangan juga dikepung oleh rakyat Surabaya. Karena sudah tidak percaya lagi dengan omongan orang Inggris, maka Bung Tomo memerintahkan kalau yang turun bukan Bung Karno, ditembak mati saja.
Sejak pecahnya pergolakan merebut senjata Jepang (30 September 1945) dan disusul dengan pendaratan Tentara Sekutu, Moestopolah orang yang paling menonjol dan memikul tanggung jawab revolusi di Surabaya. Dialah orang pertama yang berhadapan dan membuat perjanjian serah-terima kekuasaan sekali gus perlucutan seluruh senjata Jepang dari Mayor Jendral Iwabe Syigeo selaku Panglima AD Jepang di Jawa Timur di Gedung HVA, (sekarang Jl. Merak), 30 September 1945. Ketika Tentara Sekutu mendarat di Surabaya, Moestopo pulalah orang pertama yang menghadapinya. Kecuali berunding yang menghasilkan keputusan yang sulit, dia juga telah merasakan pemaksaan yang kontra dengan hasil perjanjian. Moestopo menghadapi persoalan yang dilematis, yaitu menghadapi tekanan dari dua kubu yang saling bertentangan. Tekanan pertama adalah pesan dari Pemerintah Pusat RI di Jakarta, yang meminta kepadanya, demi kepentingan politik, agar menerima dengan baik kedatangan Tentara Sekutu di Surabaya. Sedangkan tekanan kedua adalah datang dari rakyat Surabaya, yang cenderung menentang pendaratan Tentara Sekutu di Surabaya. Di mata pemuda Surabaya, Inggris dan Belanda adalah dua negara Sekutu yang sama-sama imperialis, karenanya mereka mencurigai Inggris bersekongkol dengan Belanda untuk mengembalikan penjajahan di Indonesia. Tekanan mental lebih berat ketika Inggris pada 28 Oktober mengultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan kembali senjata yang telah diperolehnya dari Jepang.
Menanggapi ultimatum itu Moestopo memerintahkan kepada BKR/TKR untuk segera bergerak ke luar kota. Sesuai dengan perintah Moestopo (pemimpin TKR Jatim), Jonosewojo (pemimpin TKR Karesidenan Surabaya) memindahkan pasukannya ke selatan, ke Darmo dan kemudian ke Ketegan di luar kota, tapi kemudian kembali masuk lagi ke Gunungsari. Banyak pihak yang tak setuju dengan taktik Moestopo tersebut. Bahkan Soengkono, pemimpin BKR Kota Surabaya, tetap bertahan di Kota Surabaya. Soengkono tetap menyebut kesatuannya BKR Kota Surabaya, bukan TKR.
Akibat kelelahan fisik yang berkepanjangan dan tekanan mental yang berat, pada malam 28 Oktober Moestopo menderita mental break down. Perbuatannya aneh. Malam itu Moestopo menanggalkan pakaian seragam militernya dan menggantinya dengan pakaian rakyat, berbaju dan bercelana panjang hitam gaya Madura, berselempangkan sarung dan mengenakan ikat kepala. Dengan penyamarannya itu Moestopo mau melaksanakan konsep strategi perangnya yang dalam bahasa Jerpang disebut Himizhu Zensosen dan Singei-se, artinya perang rahasia dan perang gerilya kota. Setelah mengadakan rapat di markasnya di gedung HVA, Moestopo kemudian bergerak ke luar kota. Ia mengendarai mobil bersama Sudibyo, mahasiswa kedokteran gigi. (Selain jadi Daidanco PETA di Gresik, Moestopo juga jadi dosen pada Fakultas Kedokteran Gigi = Shika Daigakku Surabaya, karena itu banyak sekali mahasiswanya yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan di Surabaya ini). Di tengah perjalanan ia mampir dahulu ke Markas PRI (Balai Pemuda), untuk menjelaskan rencana perannya dan mengajak para pemuda PRI meninggalkan kota, sebab Inggris akan melucuti senjata mereka, ujarnya.
Di Wonocolo, Moestopo bertemu dengan dua orang wartawan Surabaya, Wiwiek Hidayat dan Suleimanhadi, kedua wartawan itu lalu diajak turut serta memeriksa kesiapan perang di sekitar Surabaya.
Mereka berempat mengendarai mobil sedan hitam de Soto, dengan Moestopo sendiri yang mengemudikannya. Di tengah malam buta itu Moestopo mengebut melalui jalan pedesaan menuju Sidoarjo dan kemudian bermaksud menuju Gresik dengan melewati jalan Sidoarjo-Krian-Balungbendo-Mojokerto. Di setiap pos penjagaan, bila kendaraan Moestopo disetop untuk diperiksa ia kadang-kadang menjelaskan identitas dirinya, bukan saja sebagai pimpinan TKR dan Menteri Pertahanan RI, tetapi juga menyebut dirinya sebagai “Ratu Adil”.
Sekitar jam 02.00 tengah malam, mereka tiba di Markasnya Marhadi, komandan BKR/TKR di Mojokerto. Karena kecapekan, di tempat tersebut mereka langsung jatuh tertidur. Di saat mereka tidur lelap itulah mendadak mereka disergap oleh satu kesatuan bersenjata yang tak dikenal. Mereka termasuk Moestopo, dengan tangan diborgol dinaikkan truk, lalu dibawa ke bekas Pabrik Gula Brangkal. Esok harinya barulah mereka tahu, bahwa yang menawan mereka itu adalah anak buah Mayor Sabarudin, PTKR Sidoarjo. Hari itu mereka dijemput sendiri oleh Mayor Sabarudin, dan dengan mata tertutup mereka lalu dibawa ke markas Sabarudin di Sidoarjo.
Di tempat terpisah Sabarudin menemui Wiwiek Hidayat dan Suleimanhadi. Sabarudin mengatakan, bahwa kedua wartawan itu boleh bebas kembali ke Surabaya, tetapi bersama itu ia mengancam, dengan pistol dimain-mainkan di tangan, agar mereka jangan sampai membocorkan rahasia ditawannya Moestopo tersebut. Bila sampai bocor, mereka bersama keluarganya akan dihabisi.
Kepada Moestopo Sabarudin berterus terang bahwa dia diperintahkan oleh atasannya untuk menangkap dan membunuh Moestopo. Tetapi karena di masa Peta dahulu selaku anak buah Moestopo ia pernah diselamatkan jiwanya dari kekejaman Jepang, maka ia tak akan membunuh Moestopo.
Kisah tentang diri Sabarudin ini sungguh sangat menarik. Yang dimaksud atasannya, mungkin sekali Jonosewoyo, karena Sidoarjo adalah kekuasaan pemimpin TKR Karesidenan Surabaya, Jonosewojo. Apalagi kemudian hari, ketika terjadi perebutan jabatan militer di Jawa Timur antara Jonosewoyo dengan HR Mohamad Mangundiprojo, Sabarudin membela mati-matian Jonosewojo, menculik dan membantai HR Mohamad dari Jogja sampai di Kertosono (peristiwa 1946). Sabarudin juga terkenal kejam, memancung leher bekas saingannya ex-chudancho Soerjo secara terbuka di alun-alun Sidoarjo. Ex-chudancho Soerjo waktu itu jadi staf keuangan TKR Jatim pimpinan Moestopo.
Dua hari ditawan Sabarudin, pada tanggal 30 Oktober dengan dikawal oleh Kapten Hamidun, Kepala Stafnya Sabarudin, Moestopo diantarkan menghadiri rapat pertemuan dengan Presiden Soekarno di Gubernuran Surabaya yang dihadiri oleh Bung Hatta dan para pejabat tinggi di Surabaya. Waktu itu seruan berhenti tembak-menembak sudah disiarkan. Bung Hatta menganggap Moestopo sebagai biang kerok pergolakan bersenjata melawan Tentara Sekutu di Surabaya. Oleh Presiden Moestopo mulai saat itu dipensiun dan selanjutnya diangkat menjadi Penasihat Agung Presiden RI. Dengan begitu berakhirlah peran Moestopo selaku pimpinan tertinggi TKR di Jawa Timur. Secara hirarkhis, orang kedua Urusan Angkatan Darat, HR Mohamad Mangundiprojo menggantikan kedudukan Moestopo, bersama Soengkono mewakili TKR dalam forum perundingan dengan pihak Inggris. Moestopo yang membikin gara-gara pergolakan pertempuran tiga hari (28, 29, 30 Oktober 1945) yang arek-arek Surabaya bisa melumpuhkan pasukan Inggris, tetapi Moestopo sendiri tidak ikut bertempur, karena ditawan oleh Sabarudin. Buntut pertempuran tiga hari adalah tewasnya Mallaby yang berlanjut dengan pertempuran 10 November 1945 yang hasilnya Indonesia Merdeka akibat gigihnya perlawanan bersenjata, tetapi Moestopo juga tidak terlibat pertempuran karena sudah dipensiun. Ini salah satu gambaran bahwa potensi lokal menjadi tak berdaya karena beda pandang dengan pusat pemerintahan.”Pak Fauzi sambil lemas menceritakan kisah tersebut dikarenakan anak-anak banyak yang ketiduran.

(Kriiing … kriiiing …kriiiing …) bel pelajaran PKN telah habis,disamping itu anak-anak terbangun dari tidurnya.
“OK,terima kasih anak-anak telah mendengarkan sedikit cerita perjuangan 10 November.aku akiri Wassalamualaikum Wr. Wb”Pak Fauzi sambil keluar ke pintu.
“Wallaikumsallam”serentak jawab anak-anak.
“enak ya pak Fauzi dari pada guru yang lain,sayangnya hanya satu hari ngajarnya”bilang WIWIK ke ANDI.
“ya”ANDI menjawab dengan lesu,karena masih mengantuk.
“saya adalah arek suroboyo yang siap untuk membela tanah air tercinta.Ha ..Ha ..” sambil berteriak REVAN di depan kelas.
“Are you GILA ?,kalau kamu arek suroboyo aku WS.MALLABY”jawab AWALU.
“he,Londo ya ?”jawab RICO.
“ha .. ha .. ha .. ha ..”anak-anak tertawa dengan serentak.