Rabu, 14 Maret 2012

Catatan Sepak Bola-Tak Ada Tim Sepak Bola Seharga Nyawa”

KEMBALI kita disuguhi peristiwa yang membuat miris sekaligus prihatin.Di tengah prestasi dan kondisi sepak bola yang belum membaik,nyawa hilang dengan siasia. Sebuah harga yang tak setimpal untuk sebuah tim sepak bola.

Di dunia jurnalistik,terkenal istilah “Tak ada berita seharga nyawa”.Artinya, keselamatan tetap menjadi prioritas, sedahsyat apa pun sebuah berita.Nyawa tetap lebih berharga dibandingkan memburu berita hingga membahayakan diri sendiri,apalagi kehilangan nyawa. Saya kira istilah itu juga patut diterapkan di sepak bola Indonesia,“Tidak ada tim sepak bola seharga nyawa”.

Sebuah tim sepak bola akan selalu bangga melihat militansi dan fanatisme pendukungnya. Tapi,fanatisme bukan berarti harus membahayakan dan mengorbankan hidup seseorang. Terlalu sering kita mendengar suporter yang tewas saat mendukung timnya bertanding.Tapi,di Indonesia lain,suporter sering kehilangan nyawa bahkan saat mereka belum menyaksikan timnya di lapangan.Paling banyak mereka kehilangan nyawa di luar stadion.

Kenapa lagi-lagi Bonek? Ini perlu direnungkan dalam-dalam.Sudah waktunya semua membuka mata bahwa ada “sesuatu”dengan suporter Persebaya ini. Bonekharus dengan lapangan dada mengakui ada sesuatu yang harus diubah, terutama cara dan proses dalam mendukung timnya. Bonekyang mempunyai arti Bondo Nekat telah diterjemahkan secara mentah.Di pikiran anak-anak muda belasan tahun (usia ini yang sering menjadi korban), Bonekditerjemahkan sebagai suporter yang serbanekat.

Ada atau tidak ada uang tetap berangkat. Di sini sudah salah sejak awal.Tidak pernah ada pemahaman atau semacam edukasi kepada Bonekmuda tentang bagaimana seharusnya proses mendukung tim yang benar.Selama ini semua selalu memberikan pembenaran tentang efek yang telah dilakukan Bonek. Ada yang menyalahkan aparat,panitia pelaksana (panpel),dan pihak-pihak lain.

Sikap ini,menurut saya,justru menjerumuskan Boneksendiri.Bagi Bonek yang sudah paham,mungkin bisa berpikir logis dan tidak neko-neko.Tapi,bagaimana dengan Bonekbelasan tahun yang jalan pikirannya masih terlalu sederhana? Pemikiran sederhana itu akan terus mendatangkan efek berantai jika tidak segera diubah.Bonek-Bonekmuda yang terus tumbuh akan meniru pendahulunya.Mereka akan terus beranggapan bahwa Bonekitu ‘tidak harus bermodal’ atau nekat dalam situasi apa pun.

Jika dibiarkan terus begini, percuma juga rasa prihatin kita sekarang ini. Inilah saatnya Bonekmembutuhkan revolusi dalam arti demi kebaikan.Revolusi yang bermula dari semua pihak dan lingkungan.Sudah saatnya anak-anak muda yang militansinya masih mentah itu diberi pengertian bagaimana mendukung tim secara cerdas dan elegan.Jika hanya saling menyalahkan,kita semua salah.

Orang tua,guru,teman,pihak klub, semua bertanggung jawab jika mencari siapa yang salah.Tidak bisa kita mengubah perilaku suporter hanya dengan mengubah nama Bonek.Saya pikir itu bukan sebuah solusi terbaik karena yang dibutuhkan adalah pemahaman sebagai seorang suporter yang cerdas. Saat beberapa komunitas suporter berupaya mencari simpati publik dengan perilaku positif,Bonekmasih disibukkan dengan cara mendukung tim tanpa harus mengeluarkan uang.

Pekan lalu,Bonek berdemo menuntut salah satu tokoh televisi swasta meminta maaf karena ucapannya dinilai menyudutkan Bonek.Hanya berselang beberapa hari,lima Bonek kehilangan nyawa dan lainnya justru melakukan kerusuhan dan penjarahan di Kota Bojonegoro. Apakah saya harus menyebut mereka yang rusuh itu dengan kata oknum? Tidak. Bagi saya,pemakaian kata oknum hanya untuk mencari kambing hitam dan upaya pembenaran.

Boneksejati,menurut saya, harus gentleman,introspeksi,dan tidak mencari pembenaran dari situasi ini. Dengan komunitas yang demikian besar dan menjadi salah satu suporter paling beken di republik ini,Bonekselayaknya menjadi leader bagi suporter-suporter lain. Bonekharus lebih terdidik dan bisa mendidik generasi muda yang masih mentah dalam mengejawantahkan arti sebuah militansi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar