Selasa, 19 Juni 2012

85 Tahun Persebaya, Lalu Apa...

Persebaya Surabaya, 18 Juni 1927 - 18 Juni 2012: 85 years of passion and pride. Gairah, semangat, dan kebanggaan. Dibandingkan klub-klub Eropa, usia ini masih tergolong lebih muda. Namun di Indonesia, Persebaya adalah salah satu tonggak perjuangan nasionalisme melalui lapangan hijau. Bersama sejumlah klub lain, Persebaya ikut mendirikan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).

Selanjutnya, dalam peta sepakbola Indonesia, Surabaya menjadi salah satu kaki penyangga tradisional selama bertahun-tahun. Kaki lainnya adalah Bandung, Jakarta, Medan, Ujung Pandang, dan Jayapura. Selama bertahun-tahun pula, pembinaan internal para pesepakbola nasional lahir dari kota-kota ini.

Persebaya juga mencatatkan diri beberapa kali menjadi juara perserikatan. Di era kompetisi modern yang merupakan gabungan klub Liga Sepakbola Utama (Galatama) dan Perserikatan, Persebaya menjadi juara dua kali. Persebaya juga masih tercatat menjadi tim paling produktif menghasilkan dan menggunakan pemain muda.

Dengan sekian prestasi, Persebaya kini harus mulai berpikir untuk bertransformasi seratus persen menjadi klub profesional dan berorientasi internasional. Ini bukan urusan mudah, tentu saja. Sebagaimana halnya sebagian besar klub di Indonesia yang lahir dari rahim perserikatan, Persebaya tidak mengenal kapitalisme sejak mula. Etos klub ini adalah kebangsaan. Ia dibangun di atas semangat perlawanan terhadap kolonialisme.

Tanpa etos kapitalisme, Persebaya tidak diimajinasikan masuk ruang privat. Ia bagian dari publik, dan menjadi milik publik. Apalagi nama Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya (Persibaya), yang kemudian bertransformasi menjadi Persatuan Sepakbola Surabaya, menunjukkan bahwa ini payung besar atau semacam federasi kecil bagi klub-klub sepakbola amatir di Surabaya.

Setelah Indonesia merdeka, klub-klub sepakbola pribumi di kota-kota di Indonesia dinasionalisasi dan dimiliki negara. Setiap pemerintah daerah menggelontorkan sejumlah uang untuk memutar kompetisi internal di klub-klub yang belakangan disebut klub perserikatan.

Dikuasai dan dibiayai pemerintah daerah memiliki konsekuensi, Persebaya, sebagaimana klub perserikatan lainnya, menjadi tunggangan politik dan pertaruhan prestise kedaerahan. Prestasi Persebaya berbanding lurus dengan keberhasilan pemerintah Surabaya. Dalam taraf tertentu, sukses Persebaya menjadi bagian dari pencitraan pemerintah daerah terhadap rakyat Surabaya.

Berjalan selama berpuluh-puluh tahun, tidak pernah ada yang mempertanyakan: Persebaya milik siapa. Masalah hak kepemilikan tidak diatur dengan hukum kepemilikan yang ketat, melainkan asumsi-asumsi politis yang ditarik dari hukum sebab-akibat: karena dibiayai dengan uang APBD, maka Persebaya adalah milik pemerintah daerah; karena Persebaya dibentuk oleh klub-klub amatir pada masa lampau, maka Persebaya menjadi milik klub-klub itu. Klub-klub tersebut yang berhak memilih ketua umum Persebaya.

Saat PSSI mulai melakukan pemisahan antara klub profesional dan amatir, muncul ambiguitas: Persebaya ini milik siapa. Klub profesional, sebagaimana perusahaan profesional yang terpisah dari pemerintah, dimiliki oleh individu. Negara tidak bisa dan tidak boleh memilikinya. Apalagi, tidak ada legalitas hitam di atas putih yang menunjukkan dengan jelas bahwa Persebaya adalah aset pemerintah daerah.

Jika Persebaya tertulis dalam lembar negara atau daerah sebagai aset negara, maka pelepasan atau penghapusan Persebaya sebagai aset publik akan lebih mudah. Tinggal ada pembicaraan bersama antara DPRD dan pemerintah daerah, setelah itu selesai. Namun itu tak bisa dilakukan karena keterbatasan legalitas tadi. Persebaya adalah aset Surabaya, namun bukan aset formal. Ia adalah aset sosial-historis. Ia bagian dari sejarah terbentuknya kota ini.

Repotnya menentukan kepemilikan Persebaya di era profesional bisa dilihat dari keengganan Pemerintah Kota Surabaya memiliki mayoritas saham klub. Pemkot terbentur aturan soal kepemilikan saham PT Persebaya Indonesia. Saham tersebut harus dimiliki perorangan dan bukan institusional. Lagipula, jika Pemkot masih memiliki saham dalam klub, maka ini sama saja Persebaya masih bisa diintervensi oleh pemerintah. Ini sesuatu yang tak bisa diterima dalam sepakbola profesional.

Indikasi lain bahwa masalah legalitas formal menjadi persoalan adalah masih adanya dualisme di kubu Persebaya saat ini. Hanya dengan berbekal surat Ketua Umum PSSI Nurdin Halid, dibentuklah Persebaya dadakan baru yang bertanding di Divisi Utama, menyusul aksi boikot Persebaya atas kompetisi PSSI pada 2010.

Dua kubu itu hingga saat ini tak bisa disatukan. Namun anehnya, dua kubu tersebut tidak saling mengeliminasi melalui jalur hukum. Sebenarnya perebutan dua nama ini bisa diselesaikan lewat meja pengadilan, namun itu agaknya jauh dari harapan. Yang terjadi adalah proses seleksi alam: biarlah Bonek yang menentukan mana klub yang paling absah. Dan kita tahu, Bonek lebih memilih Persebaya yang berlaga di Liga Prima Indonesia dibandingkan Persebaya Versi PT Liga Indonesia.

PSSI di era kepemimpinan Djohar Arifin Husein kemudian mengukuhkan legalitas Persebaya yang bernaung di bawah PT Persebaya Indonesia. Secara de jure, Persebaya yang berlaga di Liga Prima Indonesia adalah Persebaya yang legal. Namun, tetap saja, isu legal kepemilikan, terutama terkait dengan Pemkot Surabaya, belum sepenuhnya terhapus.

Sasaran Persebaya berikutnya adalah menapak ranah internasional. Sukses merebut Piala Unity setelah mengalahkan Kelantan FA Malaysia menjadi titik awal upaya tersebut. Namun masalah legal harus segera diselesaikan, karena menjadi problem bagi Persebaya untuk sepenuhnya profesional.

Tanpa kekuatan legal yang jelas dan terang-benderang, investor akan ragu-ragu untuk masuk. Sejak era kompetisi baru Indonesia tahun 1994, Persebaya sempat menikmati masuknya beberapa sponsor ternama, seperti Phillips (yang sempat membuat Persebaya bisa berujicoba melawan PSV Eindhoven Belanda di Gelora 10 Nopember). Namun tak ada sponsor yang bisa bertahan lama. Ini menjadi pekerjaan rumah besar, yang sebenarnya bukan hanya Persebaya namun klub-klub mantan perserikatan lainnya.

Bagaimana mengatasinya? Investor hanya membutuhkan rasa aman dan nyaman. Artinya, investor harus yakin, bahwa uang yang ditanamkan di Persebaya bukanlah 'uang panas' yang bisa menguap sewaktu-waktu karena gonjang-ganjing kepemilikan. Salah satu solusi, saya kira, adalah perlu adanya penegasan dari Pemkot Surabaya secara terbuka tentang status kepemilikan PT Persebaya Indonesia dan bagaimana model hubungannya dengan negara. Kedua, PSSI sebagai federasi yang menaungi Persebaya juga perlu memberikan jaminan kenyamanan. Jaminan ini berlaku juga bagi klub-klub eks perserikatan yang sudah layak dijadikan klub profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar