Persebaya
Surabaya, 18 Juni 1927 - 18 Juni 2012: 85 years of passion and pride.
Gairah, semangat, dan kebanggaan. Dibandingkan klub-klub Eropa, usia
ini masih tergolong lebih muda. Namun di Indonesia, Persebaya adalah
salah satu tonggak perjuangan nasionalisme melalui lapangan hijau.
Bersama sejumlah klub lain, Persebaya ikut mendirikan Persatuan
Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
Selanjutnya, dalam peta
sepakbola Indonesia, Surabaya menjadi salah satu kaki penyangga
tradisional selama bertahun-tahun. Kaki lainnya adalah Bandung,
Jakarta, Medan, Ujung Pandang, dan Jayapura. Selama bertahun-tahun
pula, pembinaan internal para pesepakbola nasional lahir dari kota-kota
ini.
Persebaya juga mencatatkan diri beberapa kali menjadi
juara perserikatan. Di era kompetisi modern yang merupakan gabungan
klub Liga Sepakbola Utama (Galatama) dan Perserikatan, Persebaya
menjadi juara dua kali. Persebaya juga masih tercatat menjadi tim
paling produktif menghasilkan dan menggunakan pemain muda.
Dengan
sekian prestasi, Persebaya kini harus mulai berpikir untuk
bertransformasi seratus persen menjadi klub profesional dan berorientasi
internasional. Ini bukan urusan mudah, tentu saja. Sebagaimana halnya
sebagian besar klub di Indonesia yang lahir dari rahim perserikatan,
Persebaya tidak mengenal kapitalisme sejak mula. Etos klub ini adalah
kebangsaan. Ia dibangun di atas semangat perlawanan terhadap
kolonialisme.
Tanpa etos kapitalisme, Persebaya tidak
diimajinasikan masuk ruang privat. Ia bagian dari publik, dan menjadi
milik publik. Apalagi nama Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya
(Persibaya), yang kemudian bertransformasi menjadi Persatuan Sepakbola
Surabaya, menunjukkan bahwa ini payung besar atau semacam federasi kecil
bagi klub-klub sepakbola amatir di Surabaya.
Setelah Indonesia
merdeka, klub-klub sepakbola pribumi di kota-kota di Indonesia
dinasionalisasi dan dimiliki negara. Setiap pemerintah daerah
menggelontorkan sejumlah uang untuk memutar kompetisi internal di
klub-klub yang belakangan disebut klub perserikatan.
Dikuasai dan
dibiayai pemerintah daerah memiliki konsekuensi, Persebaya,
sebagaimana klub perserikatan lainnya, menjadi tunggangan politik dan
pertaruhan prestise kedaerahan. Prestasi Persebaya berbanding lurus
dengan keberhasilan pemerintah Surabaya. Dalam taraf tertentu, sukses
Persebaya menjadi bagian dari pencitraan pemerintah daerah terhadap
rakyat Surabaya.
Berjalan selama berpuluh-puluh tahun, tidak
pernah ada yang mempertanyakan: Persebaya milik siapa. Masalah hak
kepemilikan tidak diatur dengan hukum kepemilikan yang ketat, melainkan
asumsi-asumsi politis yang ditarik dari hukum sebab-akibat: karena
dibiayai dengan uang APBD, maka Persebaya adalah milik pemerintah
daerah; karena Persebaya dibentuk oleh klub-klub amatir pada masa
lampau, maka Persebaya menjadi milik klub-klub itu. Klub-klub tersebut
yang berhak memilih ketua umum Persebaya.
Saat PSSI mulai
melakukan pemisahan antara klub profesional dan amatir, muncul
ambiguitas: Persebaya ini milik siapa. Klub profesional, sebagaimana
perusahaan profesional yang terpisah dari pemerintah, dimiliki oleh
individu. Negara tidak bisa dan tidak boleh memilikinya. Apalagi, tidak
ada legalitas hitam di atas putih yang menunjukkan dengan jelas bahwa
Persebaya adalah aset pemerintah daerah.
Jika Persebaya tertulis
dalam lembar negara atau daerah sebagai aset negara, maka pelepasan
atau penghapusan Persebaya sebagai aset publik akan lebih mudah.
Tinggal ada pembicaraan bersama antara DPRD dan pemerintah daerah,
setelah itu selesai. Namun itu tak bisa dilakukan karena keterbatasan
legalitas tadi. Persebaya adalah aset Surabaya, namun bukan aset
formal. Ia adalah aset sosial-historis. Ia bagian dari sejarah
terbentuknya kota ini.
Repotnya menentukan kepemilikan Persebaya
di era profesional bisa dilihat dari keengganan Pemerintah Kota
Surabaya memiliki mayoritas saham klub. Pemkot terbentur aturan soal
kepemilikan saham PT Persebaya Indonesia. Saham tersebut harus dimiliki
perorangan dan bukan institusional. Lagipula, jika Pemkot masih
memiliki saham dalam klub, maka ini sama saja Persebaya masih bisa
diintervensi oleh pemerintah. Ini sesuatu yang tak bisa diterima dalam
sepakbola profesional.
Indikasi lain bahwa masalah legalitas
formal menjadi persoalan adalah masih adanya dualisme di kubu Persebaya
saat ini. Hanya dengan berbekal surat Ketua Umum PSSI Nurdin Halid,
dibentuklah Persebaya dadakan baru yang bertanding di Divisi Utama,
menyusul aksi boikot Persebaya atas kompetisi PSSI pada 2010.
Dua
kubu itu hingga saat ini tak bisa disatukan. Namun anehnya, dua kubu
tersebut tidak saling mengeliminasi melalui jalur hukum. Sebenarnya
perebutan dua nama ini bisa diselesaikan lewat meja pengadilan, namun
itu agaknya jauh dari harapan. Yang terjadi adalah proses seleksi alam:
biarlah Bonek yang menentukan mana klub yang paling absah. Dan kita
tahu, Bonek lebih memilih Persebaya yang berlaga di Liga Prima
Indonesia dibandingkan Persebaya Versi PT Liga Indonesia.
PSSI
di era kepemimpinan Djohar Arifin Husein kemudian mengukuhkan legalitas
Persebaya yang bernaung di bawah PT Persebaya Indonesia. Secara de
jure, Persebaya yang berlaga di Liga Prima Indonesia adalah Persebaya
yang legal. Namun, tetap saja, isu legal kepemilikan, terutama terkait
dengan Pemkot Surabaya, belum sepenuhnya terhapus.
Sasaran
Persebaya berikutnya adalah menapak ranah internasional. Sukses merebut
Piala Unity setelah mengalahkan Kelantan FA Malaysia menjadi titik
awal upaya tersebut. Namun masalah legal harus segera diselesaikan,
karena menjadi problem bagi Persebaya untuk sepenuhnya profesional.
Tanpa
kekuatan legal yang jelas dan terang-benderang, investor akan
ragu-ragu untuk masuk. Sejak era kompetisi baru Indonesia tahun 1994,
Persebaya sempat menikmati masuknya beberapa sponsor ternama, seperti
Phillips (yang sempat membuat Persebaya bisa berujicoba melawan PSV
Eindhoven Belanda di Gelora 10 Nopember). Namun tak ada sponsor yang
bisa bertahan lama. Ini menjadi pekerjaan rumah besar, yang sebenarnya
bukan hanya Persebaya namun klub-klub mantan perserikatan lainnya.
Bagaimana
mengatasinya? Investor hanya membutuhkan rasa aman dan nyaman.
Artinya, investor harus yakin, bahwa uang yang ditanamkan di Persebaya
bukanlah 'uang panas' yang bisa menguap sewaktu-waktu karena
gonjang-ganjing kepemilikan. Salah satu solusi, saya kira, adalah perlu
adanya penegasan dari Pemkot Surabaya secara terbuka tentang status
kepemilikan PT Persebaya Indonesia dan bagaimana model hubungannya
dengan negara. Kedua, PSSI sebagai federasi yang menaungi Persebaya
juga perlu memberikan jaminan kenyamanan. Jaminan ini berlaku juga bagi
klub-klub eks perserikatan yang sudah layak dijadikan klub
profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar