Jumat, 23 Maret 2012

Messi, Indonesia, Amin

Pada 20 Maret lalu, Lionel Messi mencetak tiga gol yang membawa Barcelona menang 5-3 atas Granada. Itu menjadikannya pencetak gol terbanyak Barcelona, dengan 234 gol. Rekor itu sebelumnya menjadi milik Cesar Rodriguez, dengan 232 gol (setelah diralat dari sebelumnya 235 gol), selama 57 tahun. Cesar mencapai 232 gol dalam usia 35 tahun dan Messi 24 tahun, plus kontrak yang berlaku sampai 2016.

Rekor itu melengkapi sejumlah pencapaian sebelumnya, misalnya pemain pertama yang mencetak lima gol dalam satu pertandingan Liga Champions, pencetak gol terbanyak Liga Champions dalam tiga musim terakhir, dan pemain terbaik dunia, dalam tiga tahun terakhir.

Soal bakat, tokoh-tokoh sepak bola dunia, mengakui bahwa Messi punya kemampuan di atas rata-rata. Namun, ia bisa berada di puncak bukan semata-mata karena usahanya sendiri. Ada banyak orang yang menjaganya tetap di jalur yang benar, sejak awal.

Messi lahir dengan kelainan hormon yang membuatnya sempat diragukan bisa bersaing dengan teman sebaya, oleh pelatihnya semasa di sekolah dasar dan bahkan rekan-rekannya ketika di akademi sepak bola Barcelona.

"Aku ingat ketika ia pertama kali berlatih bersama kami. Ia begitu kecil, sehingga kami takut untuk menyentuhnya karena kami pikir itu akan menyakitinya. Namun kemudian kami semua sadar kalau sentuhan bolanya sama sekali tidak buruk," ujar bek Gerard Pique, beberapa waktu lalu.

"Sejumlah pelatih mengatakan pada kami untuk tidak melakukan tekel terlalu keras kepadanya, supaya tidak membuatnya cedera. Namun, meski ingin (melakukannya), kami bahkan tak bisa mendekatinya. Ia begitu cepat, sehingga mustahil menjatuhkannya," tambahnya.

Namun, ada orang-orang yang membuat Messi tidak kehilangan kepercayaan diri sehingga berusaha melatih aspek lain, yang membuat orang mengabaikan kekurangan dan bahkan menjadikannya semakin dihargai.

Orang tua Messi, Jorge dan Celia, tak pernah mencoba mengalihkan perhatian dan gairah anaknya dari sepak bola. Meski bukan orang kaya, mereka selalu menyempatkan diri mengantar Messi berlatih tim yunior Newell's Old Boys.

Pada usia 12 tahun, Messi dibukakan jalan menuju panggung sepak bola dunia oleh kerabatnya yang tinggal di Catalonia. Kerabatnya itu mendaftarkan Messi untuk mengikuti uji coba di Barcelona.

Carlos Rexach kemudian terbang ke Argentina untuk melihat langsung siapakah anak yang oleh kakaknya dijuluki "Si Kutu" itu. Jika River Plate keberatan merekrut Messi karena biaya pengobatan yang mencapai 500 poundsterling per bulan, Rexach mengajak Messi bergabung, tentu saja dengan menyatakan sanggup menanggung biaya pengobatan kelainan hormon Messi.

Setelahnya, Messi tumbuh dalam kultur sepak bola Barcelona, yang dirintis oleh Rinus Michels dan Johan Cruyff. Messi dibantu menampilkan kemampuan terbaiknya oleh pelatih Josep "Pep" Guardiola, Andres Iniesta, Xavi Hernandez, Dani Alves, dan pemain lain, sesuatu yang tidak didapatnya di tim nasional Argentina.

Messi bukan satu-satunya pemain berbakat besar dan unik. Dunia sepak bola generasi sekarang mengenal Zlatan Ibrahimovic, Robinho, Neymar, Cristiano Ronaldo, Ricardo Kaka, Robin van Persie, Wayne Rooney, dan Fernando Torres, sebagai pemain bertalenta di atas rata-rata. Bahwa mereka hanya bisa menonton ketika Messi tiga kali dianugerahi gelar pemain terbaik dunia, perbedaan ada pada dukungan dan lingkungan, tempat mereka tumbuh dan berkembang.

Untuk Indonesia, Bruce Arena pernah menyebut Andik Vermansyah punya potensi untuk bermain di kompetisi Eropa. Media Portugal dan Italia juga telah melambungkan pujian, dengan menyebut Andik sebagai Messi-nya Indonesia. Namun, seberapa jauh Andik melangkah dan seberapa besar kontribusinya untuk Indonesia, itu bergantung pada kualitas dukungan dan lingkungan tempat ia tinggal.

Sebagai pemegang lisensi tunggal FIFA untuk pengelolaan sepak bola Indonesia, PSSI adalah pihak yang bertanggung jawab membangun lingkungan yang sehat untuk Andik.  Ketika publik menilai prestasi sepak bola Indonesia mengecewakan, pengurus PSSI harus berbesar hati mengevaluasi diri, bukan minta belas kasihan, karena dengan menerima tanggung jawab mengelola sepak bola Indonesia, mereka telah menyatakan tahu dan mampu memenuhi ekspektasi publik.

Perjalanan sejauh apa pun, dimulai dari satu langkah pertama. Pep pernah mengatakan, bahwa prestasi Barcelona saat ini adalah buah dari kerja keras orang-orang sebelum generasi ini. Melihat hasilnya, Barcelona memulai dengan benar perjalanan mereka. Untuk PSSI saat ini, mereka mengawali perjalanan dengan konflik internal yang berujung dualisme kompetisi dan perpecahan klub, dan takluknya Indonesia kepada Bahrain sepuluh gol tanpa balas.

Belum terlambat bagi PSSI membenahi diri. Tidak perlu langsung bicara prestasi, tetapi merancang program dan mengeksekusinya secara independen. Rekonsiliasi pengurus dan klub adalah yang pertama. Kemudian menentukan klub mana yang akan bermain di level tertinggi, level kedua, dan selanjutnya.

Jika mengedepankan profesionalisme dan kemandirian finansial, PSSI harus menilai klub berdasar massa pendukung dan stadion, yang merupakan basis utama ekonomi klub dan modal untuk menjaring sponsor. Kekuatan ekonomi akan menjadi modal klub meningkatkan daya tarik untuk pemain top dan dengan begitu meningkatkan daya saing mereka.

Selain itu, PSSI perlu menentukan jumlah ideal peserta kompetisi. 24 klub kiranya bukan jumlah ideal untuk kompetisi satu wilayah. Dengan banyaknya daerah dipisahkan lautan, jumlah sebesar itu akan menyedot anggaran besar dan menguras energi pemain. Bundesliga bisa menjadi acuan. Meski tak semegah Premier League, Liga BBVA, dan Serie-A, kompetisi berjalan lancar dan berkontribusi kepada tim nasional, dengan hanya menyertakan 18 klub.

Klub juga harus didorong bersikap transparan, misalnya dalam soal transfer pemain dan laporan keuangan. Hal ini bisa dilakukan dengan memaksimalkan fungsi internet. Klub-klub Premier League, selalu mengumumkan transfer dan hasil kegiatan ekonomi di situs resmi mereka. Klub juga bisa meningkatkan popularitas dengan membuat berita soal kegiatan klub, pemain mereka, statisik pemain dan pertandingan, dan live commentary, seperti juga dilakukan klub-klub Premier League, Liga BBVA, Serie-A, dan Bundesliga. Semakin klub dan pemain dikenal publik, semakin tinggi nilai jual mereka di mata sponsor dan suporter Indonesia bisa memberikan dukungan besar, jika "dilayani" dengan baik. Lihat saja, Real Madrid sampai membuat situs berbahasa Indonesia.  Barcelona dan, bahkan, Boca Junior, membuka sekolah sepak bola di Indonesia.

Untuk PSSI, mereka perlu belajar menyampaikan pernyataan resmi soal polemik, kasus disiplin, melalui melalui situs resmi mereka, ketimbang menggelar konferensi pers yang tak jarang malah membuat fakta terdistorsi. Hal ini bisa membantu mereka meningkatkan kredibilitas dan mencegah media memelintir fakta. Ketika berpolemik soal sejumlah partai “El Clasico”, Barcelona dan Real Madrid menyampaikan pernyataan resmi melalui situs mereka. Dengan begitu, publik setidaknya tahu sikap klub terhadap masalah tersebut. Begitu juga halnya dengan FA ketika mengumumkan pengunduran diri Fabio Capello.

Terakhir dan terbesar adalah komitmen PSSI kepada konstituen sepak bola, yaitu masyarakat. PSSI perlu ingat bahwa tanpa penonton, sepak bola tak lebih dari sekadar olahraga. Menghamba kepada selain masyarakat akan membuat PSSI jatuh pada lubang yang sama dengan rezim sebelumnya dan lebih dari itu, Andik dan “Andik-Andik” yang lain tak akan pernah memaksimalkan potensi mereka, karena mereka berenang di air yang kotor dan terbang di udara penuh polusi.

"Kekuatan besar Messi adalah keluarganya dan juga lingkungan Rosario. Perlu waktu menciptakan pemain baik. Anda melihat bakat besar di sini, tetapi kesuksesan bergantung kepada siapa yang menjaga anak-anak ini. Karakter masayarakat tempat Anda tinggal bisa menciptakan perbedaan besar bagi seorang pemain," ujar pelatih tim yunior Newell's Old Boys, Ernesto Vecchio, yang pernah melatih Messi selama empat tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar